Figur Inspiratif : Mbah Warso, Sang Konservator Bakau
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBSosok sederhana tersebut bernama Mbah Warso. Bersama rekannya beliau mendirikan kelompok Tani Wana Tirta yang berjuang di bidang konservasi bakau.
Nama Lengkapnya Warso Suwito. Namun, beliau kerap dipanggil Mbah Warso atau Pak Wito. Sosoknya begitu bersahaja, jauh dari publisitas. Ramah dan terbuka terhadap siapa saja yang ingin belajar. Siapa sangka bapak dua anak yang pernah bekerja serabutan tersebut adalah kader konservasi terbaik Kementrian Kehutanan tahun 2014. Selain itu, beliau juga terpilih sebagai juara pertama kader konservasi dari pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Mbah Warso adalah sosok yang dekat dengan semua kalangan. Mulai dari pejabat pemerintahan, Pelaku industri, LSM, aktivis lingkungan hidup, hingga mahasiswa. Hampir semua kampus yang ada di Jogja pernah menyambangi Pasir Mendit. Ya, apalagi kalau bukan untuk riset dan juga aksi tanam bakau.
Pasir mendit adalah sebuah desa yang letaknya di Kecamatan Temon Kabupaten Kulonprogo dan berbatasan dengan Kabupaten Purworejo. Pasir Mendit termasuk kawasan konservasi bakau. Tak jauh dari sana kita bisa menikmati panorama Pantai Pasir mendit juga kelezatan udang vaname.
Dapat dikatakan kawasan bakau Pasir Mendit adalah kawasan bakau terbaik dan terluas di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Ada bebera jenis bakau yang tumbuh di kawasan tersebut. Sebut saja Avicennia alba, Bruguiera cylindrica, Rhizophira mucronata, dan lain-lain. Selain bakau, vegetasi yang lain meliputi nipah, cemara udang, kelapa, dan masih banyak lagi.
Perjuangan Mbah Warso tidak dibilang mudah. Ketika saya berkunjung ke Pasir Mendit, Mbah Warso bercerita kepada kami bahwasanya beliau merintis semua ini benar-benar dari nol. Tanpa dukungan finansial yang memadai. Segalanya dilakukan secara swadana bersama beberapa rekannya. Pada tahun 2009 Mbah warso bersama 10 orang lainnya mendirikan Kelompok Tani Pelestari Mangrove dan Pesisir Pantai ‘Wana Tirta.’ Pelan tapi pasti, usaha mereka di bidang konservasi bakau tersebut mendapat perhatian dari berbagai kalangan (pemerintah daerah, sejumlah LSM, komunitas, BUMN dan instansi swasta serta civitas akademika). Dukungan pun kian mengalir.
Berdasarkan penuturan beliau, Yayasan Damar adalah salah satu LSM yang mendukung penuh upaya ini. Selain membantu menyediakan bibit dalam aksi tanam bakau, yayasan tersebut membantu dalam hal legalitas dan edukasi bakau kepada masyarakat. Beberapa perusahaan memanfaatkan dana CSR (Corporate Social Responsibilty) mereka dalam bentuk uang tunai maupun penyediaan bibit bakau untuk mendukung kegiatan di Pasir Mendit. Beberapa perusahaan tersebut di antaranya BRI, Kompas, dan Jogjatronik.
Kampus saya, melalui Hima Biologi UNY di awal tahun 2015 pernah menjadi bagian dalam aksi tanam bakau. Saya pun terlibat dalam aksi tersebut. Pasir Mendit merupakan lokasi yang cocok untuk penelitian di bidang lingkungan hidup dan konservasi. Selain UNY, Mahasiswa yang sering mengadakan penelitian di sini kebanyakan dari UGM dan juga Instiper.
Dengan mengenakan kaos biru, celana pendek, dan kaki telanjang, Mbah Warso mengajak saya berkeliling di sekitar hutan bakau. Hutan tersebut kelak akan dijadikan wisata edukasi berbasis konservasi bakau. Para peserta yang ikut dalam tur akan diajari bagaimana pembibitan bakau, pengenalan manfaat bakau bagi kehidupan pesisir pantai, serta belajar jenis-jenis vegetasi bakau yang ada di pesisir Pasir Mendit.
Mbah Warso justru berharap banyak anak muda yang datang kemari. Terutama anak usia sekolah. Mbah warso ingin mengajak anak-anak muda tersebut agar mencintai lingkungan dan menjaga ekosistem yang ada. Beliau prihatin pada kasus pengrusakan taman bunga amaryllis di Gunung Kidul beberapa waktu silam. Dunia maya pun mengutuk aksi pengrusakan yang dilakukan oleh generasi selfie dan grupie yang tidak bertanggung jawab tersebut. Mbah Warso berharap edukasi sedini mungkin agar mencintai lingkungan dan alam mampu meminimalisasi kasus-kasus seperti itu.
Foto berikut diambil dari koleksi pribadi Mbah Warso tahun 2015. Tampak anak-anak antusias mendengarkan penuturan beliau terkait tentang dunia perbakauan.
Sembari mendengarkan cerita Mbah Warso yang penuh semangat, Sepanjang jalan kami disuguhi hijau tetumbuhan, semilir angin, dan kicauan burung-burung. Juga kepiting-kepiting bakau yang lari terbirit-birit dan lekas bersembunyi di balik gundukan tanah ketika mendengar derap langkah kami. Lihatlah bayi kepiting berikut yang warnanya nyaris menyerupai tanah. Cantik bukan? Perhatikan pula bagaimana tunas bakau jenis Mucronata memancang di atas tanah.
Ekowisata Berbasis Konservasi Bakau
Definisi ekowisata pertama kali diperkenalkan oleh the ecoutorism society (1990) yang memiliki arti sebagai suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang bertujuan untuk mengkonservasi lingkungan, melestarikan kehidupan, dan memberi kesejateraan bagi penduduk lokal.
Jadi dapat saya katakan ekowisata adalah bentuk wisata yang dikelola dengan pendekatan konservasi. Konsep ekowisata sangat cocok dikembangkan di wilayah Pasir Mendit, mengingat wilayah ini menyediakan potensi wisata bahari dan keanekaragaman hayati yang sangat potensial.
Saat saya menjejakkan kaki untuk kedua kalinya di Pasir Mendit, saya melihat banyak perubahan terjadi di sini. Berbeda Pada tahun 2015, ketika saya mengikuti aksi tanam bakau yang dihadiri oleh Bupati Kulonprogo, Pak Hasto Wardoyo dan sejumlah pejabat lain.
Menuju lokasi penanaman bakau, tidak ada lahan parkir untuk motor. Tidak ada tempat berteduh jika kepanasan. Tidak ada pula jembatan bambu untuk penyeberangan. Jika ingin menyeberang, kami menggunakan perahu kecil yang mampu memuat 4 hingga 6 orang.
Di tahun 2016 ini, pembangunan area parkir sedang dalam proses. Pun demikian dengan jembatan penyeberangan yang terbuat dari bambu. Proyek tersebut dikerjakan secara swadana dan menghabiskan dana sekitar 20 juta rupiah. Beberapa warga yang terlibat, melakukan aksi gotong royong memotong rumput dan tanaman liar.
Potensi lain di Pesisir Pantai Pasir mendit selain wisata bahari dan wisata konservasi bakau adalah tambak udang vaname dan wisata kuliner hasil laut. Perlu diketahui, mata pencaharian masyarakat Pasir Mendit yakni bertani, nelayan, dan petambak udang.
Saya mengamati ada beberapa tambak yang masih produktif. Ada juga yang sudah mati. Sebenarnya kurang tepat jika saya katakan mati, sebab tambak-tambak kosong tersebut sebenarnya hanya kekurangan modal untuk mengelola udang vaname. Maklum biaya pemeliharaan udang cukup besar.
Litopenaeus vannamei (nama ilmiah udang vaname), atau dikenal sebagai udang kaki putih adalah salah satu andalan perekonomian masyarakat Pasir Mendit. Lahan seluas kurang lebih 30 hektar tersebut dibuat petak-petak tambak dan dikelola warga setempat. Sebagian ada yang dikelola perusahaan.
Berdasarkan sumber yang saya dapat dari situs pemerintah daerah (www.kulonprogokab.go.id), secara ekonomi budidaya udang vaname cukup menjanjikan. Untuk satu kolam seluas 2500-3000 m2 diperlukan modal sekitar 35 juta rupiah. Hasil panen bisa mencapai 60 juta rupiah. Masa pemeliharaan dari benih hingga dewasa membutuh waktu sekitar 75 hari. Harga per kilo dalam kisaran Rp 40.000 hingga Rp 80.000. Tergantung ukuran. Udang vaname jarang dikonsumsi masyarakat lokal. Udang jenis ini sudah masuk pasar ekspor. Beberapa negara pengkonsumsi udang ini di antaranya China, Jepang, dan Korea Selatan.
Mbah Warso menambahkan bahwasanya beliau ingin mengembangkan lebih lanjut potensi wisata kuliner hasil laut dan tambak yang ada. Tidak hanya dari udang vaname, tetapi juga bandeng, kerang-kerangan dan kepiting. Untuk beberapa jenis bakau, buahnya pun ada yang bisa diolah menjadi sirup dan pewarna batik. Jelas ini adalah peluang.
Tahun 2015, Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Ditjen PRL) memberikan bantuan berupa perahu besar dan 3 buah kano lengkap dengan sampannya dan jaket pelampung. Untuk kano-kano tersebut belum digunakan. Saat ini masih tersimpan rapi di kediaman Mbah Warso.
Demikian sosok sederhana yang berupaya berbuat lebih untuk upaya konservasi bakau di wilayah Pasir Mendit. Bagi saya, Mbah Warso adalah Pahlawan.
* Semua Koleksi foto adalah dokumentasi Pribadi @ArintaSetia, kecuali dokumentasi milik Mbah Warso yang diambil tahun 2015
#Tempo45
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Kesadaran Pajak, Sebuah Jalan Menuju Indonesia Maju
Rabu, 1 Juli 2020 05:48 WIBRefleksi 74 Tahun Indonesia Merdeka : Kebebasan Berbicara di Media Sosial
Minggu, 1 September 2019 13:25 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler